Biografi Rahman Sabur
RAHMAN SABUR lahir di Bandung, 12 September 1957, dari pasangan R.Sabur Purawinata dan Tati Rohana. Sejak kecil sudah akrab dengan dunia kesenian. Ibunya suka menyanyi tembang Cianjuran dan main kecapi-suling. Hampir setiap minggu, dia diajak ayahnya menonton film-film Belanda. Dia sering ‘nonton sandiwara, tari, wayang, reog dan berbagai kesenian rakyat.
Tapi, mulai intens menonton teater sejak 1974, saat di SMA. Dia juga gemar menulis puisi. Pernah belajar Sinematografi pada Akademi Sinematografi Bandung (1978) dan jadi aktor Teater Sang Saka, yang disutradarai Bambang Budi Asmara.
Ketertarikan dan seringnya terlibat teater mendorongnya masuk Jurusan Teater Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung, 1979. Pada 1980, bergabung dengan Studiklub Teater Bandung asuhan Suyatna Anirun dan sempat jadi aktor. Dia berhasil meraih gelar Sarjana Muda Teater di ASTI Bandung (1984) dan Sarjana Seni pada Jurusan Tari di STSI Surakarta dengan karya Ritus Topeng Ritus (1989).
Debut perdananya sebagai sutradara, ketika dia menggarap Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, 1982, tahun pertama berdirinya Teater Payung Hitam. Dengan disiplin tinggi dan kerja keras, dia mulai menggarap berbagai lakon dari penulis tanah air hingga karya-karya dunia. Salah satu karya penyutradaraannya yang banyak dipuji adalah Menunggu Godot (1991).
Rahman, kemudian mengakhiri kesetiaannya pada teks lakon. Dia mulai mendekonstrusi teks bahkan sampai tingkat yang sangat “dekstruktif”. Dia mengganti verbalitas teks dengan komposisi tubuh, lenguhan, erangan, lengking dan desah nafas. Menjahit dan menabrakannya dengan pelbagai benda. Kekerasan, kesakitan dan perjuangan yang menantang bahaya, menyakiti diri secara garang dan riuh seperti yang tampak pada pertunjukan Kaspar (1994) dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam (1997).
Rahman adalah sutradara di balik nama besar Teater Payung Hitam. Kepekaan, tenaga emosi, disiplin, kerja keras dan perfeksionisme perwujudan pentasnya kerap membuat dia terkesan sebagai sutradara otoriter yang santun. Kegigihan dan militansinya tak diragukan lagi. Kerapkali dia dan kelompoknya melakukan latihan sepanjang malam dan bersambung dengan aktivitas di siang harinya sebagai pengajar di Jurusan Teater STSI Bandung.
Militansi yang dia bangun bersama kelompoknya, membuat tak sedikit seniman luar yang tertarik berkolaborasi dengannya. Antara lain dia pernah mengikuti kolaborasi Teater Tiga Negara Indonesia-Philipina-Jepang di Sibuya, Jepang (1997), juga dengan The Lunatics Theatre dari Belanda untuk pertunjukan di Oerol Festival dan di Thersclling, Holland (2005), dengan Tikka Sears (Amerika), Takeshi Yamada, Yitotsi Yanagi (Jepang), dan Ingrid Hauser (Jerman).
Selain diundang berpentas di berbagai festival di luar negeri, dia juga memandu workshop. Antara lain di Festival Perth Australia, di Universitas Murdoch dan di Black Swan Theatre. Beberapa kali dia diundang pula untuk jadi penguji pada ujian akhir di Akademi Teater Aswara, Malaysia.
Rahman Sabur adalah sutradara yang keranjingan mengulik kekerasan, luka dan kesakitan. Saat terserang stroke, dia tengah membimbing ujian teater mahasiswanya. Dengan kondisi tubuh yang masih sakit, dia menyutradarai Puisi Tubuh Yang Runtuh lewat intruksi suara yang belum jelas terdengar dan kaki gemetaran. Teater adalah alat terapi bagi luka dan kesakitan lahir dan batin, pribadi dan masyarakat.
Dia berikrar, “Selama fisik dan psikis saya masih mampu, selamanya saya berteater. Teater adalah hidup dan mati saya. Berteater adalah berbagi ketulusan dan cinta, berbagi suka dan duka dengan lingkungan, manusia dan masyarakat. Itu pilihan dan sikap budaya saya”.
Silvester Petara Hurit - Penulis
Nano Riantiarno - Editor
dari yayasan kelola
No comments:
Post a Comment