Teater Membaca Tradisi
Memang, bukanlah hal baru mengupas kegelisahan kehidupan kesenian kita khususnya teater dalam membaca tradisi atau nilai-nilai yang mengakar di bumi pertiwi ini.
Setidaknya wacana menengok tradisi sebagai alternatif bagi teater Indonesia modern telah banyak dikupas pada dekade 1970-an sampai 1980-an.
Jika kita mengungkapnya kembali persoalan tradisi dalam teater di tahun sekarang ini sepertinya kita menggelar bancakan seonggok makanan basi yang telah mengeras dan jamuran.
Tapi benarkah membicarakan tradisi sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan perteateran mutakhir kita?
Gerakan penggalian akar budaya lokal memang telah dilakukan oleh para dramawan-dramawan Indonesia sejak pengujung tahun 1960-an. Arifin C. Noer, Rendra, Putu Wijaya, Ikranegara, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Saini KM kemudian disusul oleh Chairul Harun, Wisran Hadi, Aspar Paturusi, B.M. Syam dan N. Riantiarno adalah nama yang bisa kita sebut sebagai dramawan yang serius melakukan semacam pencarian akar tradisi lokal pada pementasan-pementasan teater mereka.
Sebagian dari mereka telah berpulang, beberapa nama telah tak produktif, hanya Putu Wijaya dan N. Riantiarno saja yang masih terus berjibaku mengolah kreatifitas dengan pentas-pentasnya. Walau kita juga tidak mengesampingkan peran dramawan yang relatif masih muda seperti Butet Kertarejasa, Dindon WS, Iswadi Pratama, Yudi Tajudin, Iman Soleh, dan beberapa dramawan muda lainnya, yang melalui karya-karya pentasnya, mereka berupaya melakukan semacam interkulturalisme dalam teater.
Inilah fakta, bahwa teater Indonesia modern merupakan produk dari dialog yang terus menerus antara elemen-elemen Barat dengan Timur. Menurut Saini KM dalam buku “Interkulturalisme (dalam) Teater” terbitan Yayasan Untuk Indonesia, tahun 2000, para teaterawan kita mengambil kepadatan struktural dari Barat yang sangat penting untuk diekspresikan dalam tema-tema dalam batas waktu yang diizinkan dalam pertunjukan kontemporer.
Pada pihak lain, mereka mengambil kekayaan imajinasi dan simbol-simbol dari kesenian Timur sebagai penekanannya. Pergulatan yang demikian intensif dengan dua kutub budaya itu membuat para teaterawan kita seperti tidak merasa bahwa mereka mengaku sebagai pemilik gaya Brechtian lantaran mirip longser Sunda dan ketoprak Jawa, serta pemilik gaya Artaudan lantaran mirip dengan teater tradisional Bali.
oleh Komite teater - Dewan Kesenian Jakarta
No comments:
Post a Comment