Saturday, March 12, 2011

Teater abad 20


      Teater telah berkembang selam berabad-abad. Gedung pertunjukan modern dilengkapi dengan berbagai peralatan dan teknologi yang memungkinkan pementasan lebih menarik dan mengagumkan, dan orang datang menonton teater juga karena ingin menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan mempelajari hal-hal baru. Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan panggung arena, atau yang kita sebut saat ini, Teater di Tengah-Tengah Gedung. Dewasa ini, beberapa cara untuk mengekspresikan karakter-karakter berbeda dalam pertunjukan-pertunjukan (disamping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi, tata cahaya, dan efek elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan eksperimental ditemukan dalam teater Amerika saat ini.


Seiring dengan perkembangan waktu. Kualitas pertunjukan Realis oleh beberapa seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini mendorong para pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artisitk dibuka selebar-lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat melawan pesona Realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20 inilah istilah teater Eksperimental berkembang. 

Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu memberikan pengaruh seperti gaya; Simbolisme, Surealisme, Epik, dan Absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan kita pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.

Gaya Pementasan
Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yang  merupakan wujud ekspresi dari:
  • Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas
  • Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada masa lakon ditulis
  • Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga (3) gaya besar yaitu; Presentasional, Representasional (Realisme), dan Post-Realistic.

v  Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah:
  • Teater Klasik Yunani dan Romawi
  • Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
  • Teater abad pertengahan
  • Commedia dell’arte, teater abad 18

Unsur-unsur gaya Presentasional adalah:
  • Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
  • Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
  • Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya Presentasional, di antaranya adalah:
  • Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja Lear, Machbeth (William Shakespeare)
  • Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan (Moliere)
  • Oidipus (Sophocles)
  • Epos dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia

v  Representasional (Realisme)
      Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut Representasional atau biasa disebut Realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.

Gaya Realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya Presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya.  Unsur-unsur gaya Representasional adalah:
  • Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan
  • Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain
  • Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi
  • Menggunakan bahasa sehari-hari.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya Representasional, di antaranya adalah:
  • Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
  • Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat (Henrik Ibsen)
  • Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali Kapur(Kirdjomuljo)
  • Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
  • Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)
Dalam perkembangannya gaya Representasional atau Realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yang masih berada dalam ruang lingkupnya yaitu; Naturalisme, Selektif Realisme, dan Sugestif Realisme (Mary McTigue, Ibid., 162).
Naturalisme merupakan sub gaya Realisme yang paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dan keturunan. 

Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan  hal-hal yang tak menyenangkan “dalam kehidupan”. Panggung harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan nyata. Tokoh naturalisme yang sangat penting ialah Emile Zola. Ia mengangkat : “Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Sebagai gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme yang semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama kelistrikan yang dapat diguankan untuk menunjang teknik pemanggungan.

Selektif Realisme, merupakan cabang gaya Realisme yang memilih atau menyeleksi detil tertentu dan digabungkan dengan unsur-unsur simbolik dalam manyajikan keseluruhan tata ruang yang ada di atas pentas. Misalnya, dinding, pintu, dan jendela dibuat seperti aslinya, tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka. Sedangkan dalam Sugestif Realisme menggunakan bagian-bagian dari bangunan atau ruang yang dipilih dan ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambaran sugestif bentuk keseluruhannya. Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang Istana dengan bantuan tata lampu yang mendukung, selebihnya adalah imajinasi.

No comments:

Post a Comment