teater bumi |
Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (Presentasional dan Representasional) dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya Realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersenidiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya Teater Eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir dengan gaya Realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam Post-Realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama.
Unsur-unsur gaya Post-Realistic adalah:
- Mengkombinasikan antara unsur Presentasional dan Representasional
- Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton
- Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberpa idiom baru atau dengan bahasa slank.
Beberapa gaya Post-Realistic yang berpengaruh adalah:
- Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti; seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai Teater Multi-Media.
- Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang mereka tonton adalah pertunjukan teater dan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya Realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi yang berganti-ganti di hadapan penonton.
- Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang terkadang muskil tapi hampir bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua orang.
- Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914 dengan dramanya Sang Anak. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dan dalam masa yang lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme ini adalah: Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20 (Yakob Soemardjo: 1983-1984).
- Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya Realisme, empaty, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernytaan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang melaljui kontak lang sung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “Teater Obsevasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.
- Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “Eksistensi” atau “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari?. Pencarian makna “ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah: Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Dan obyek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah: Samuel Beckett (1906), Jean Genet (1910), Harold Pinter, Edward Albee, dan Eugene Ionesco (1912).
No comments:
Post a Comment