Monday, April 4, 2011

Seni teater Tradisional Kentrung

Seni Tradisi Kentrung

Kentrung sebuah kesenian asli Indonesia yang berasal dari pantai utara Jawa. Kesenian ini menyebar dari wilayah Semarang, Pati, Jepara, hingga Tuban.

Seni Kentrung adalah seni tradisional yang menggunakan unsur lagu, musik, dan seni tutur.
Seni Kentrung adalah seni yang sarat dakwah kebaikan, karena cerita yang disampaikan adalah cerita wali-wali, khalifah, nabi dan cerita bermuatan religius.


Di Tuban, kesenian ini bernama Kentrung Bate karena berasal dari desa Bate, Bangilan, Tuban dan pertama kali dipopulerkan oleh Kiai Basiman di era zaman penjajahan Belanda tahun 1930-an.

Seni Kentrung diiringi alat musik berupa tabuh timlung (kentheng) dan terbang besar (rebana). Seni Kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal. Dalam pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan.

Joke-joke segar sering diselipkan di tengah-tengah pakem, tetap dengan parikan yang seolah di luar kepala. Parikan berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.

Beberapa lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik, Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas.

Kesenian Kentrung mulai terancam punah seiring perkembangan zaman karena jarang generasi muda yang mau meneruskan kesenian ini. Saat ini tinggal beberapa orang saja yang bisa memainkan kesenian ini dan kebanyakan sudah lanjut usia.

Para pemain Kentrung berharap pemerintah segera mendokumentasikan kesenian tradisi, termasuk kentrung bate, agar kelak tidak kehilangan budya dan kesenian asli daerah. Dokumentasi kentrung sangat penting mengingat sudah tidak ada penerus dalam kesenian ini.

Misalnya seni kentrung Bate, yang berasal dari Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban, nyaris punah. Kentrung Bate yang semula dipopulerkan Kiai Basiman di era zaman penjajahan Belanda tahun 1930-an, sekarang tersisa tiga orang yang sudah berusia lanjut. Mereka yakni, Mbah Surati (90) sebagai Dalang Kentrung Bate, Mbah Setri (86) penabuh timlung (kentheng) dan Mbah Samijo (88) sebagai penabuh terbang besar (rebana).
Mbah Rati, kesulitan mencari pemain pengganti. Dalam perhelatan seni tradisional bernuansa magis, hanya dimainkan tiga personel. Dirinya pun selain dalang kentrung, juga merangkap sebagai penabuh kendang.

Sementara Mbah Setri dan Mbah Samijo, memegang perangkat irama, sekaligus bertindak sebagai penembang. Praktis tiga pelakon seni yang banyak ditanggap karena nadzar warga masyarakat itu berperan ganda. Sebagai penabuh gamelan dan pelantun syair-syair sarat pesan moral.

Saat digelar perhelatan di rumah Mbah Rati, dalam rangka nadzar meminta turun hujan, puluhan warga Desa Bate, baik anak-anak dan orangtua memadati pelataran rumah papan sederhana tanpa plester. Mereka khusuk mengikuti irama tetabuhan kentrung, sekaligus menyimak bait demi bait syair yang dilantunkan Mbah Rati.

No comments:

Post a Comment