Saturday, April 23, 2011

teater, karya seni dan media

Teater, Karya Seni, dan Media

Karya teater di sekolah sesungguhnya bukanlah karya seni semata tetapi juga media pendidikan. 

Memang dalam sebuah karya seni murni ada ditawarkan nilai tertentu akan tetapi belum tentu nilai tersebut memiliki aspek fungsi nyata dalam kehidupan. 

Bisa saja nilai yang ditawarkan adalah nilai keindahan semata lain tidak. Dalam konteks pendidikan, teater selayaknya hadir sebagai media pembelajaran.
Dalam dunia teater di luar sekolah, teater dihadirkan sebagai karya seni murni yang ditampilkan di hadapan penonton untuk diapresiasi bahkan dikagumi. Untuk memproduksi teater ini diperlukan satu latihan rutin dan keras dengan harapan semua pemain dan pendukung mampu tampil dengan baik sehingga pertunjukan berjalan dengan sukses. 

Para pemain dilatih sedemikian rupa untuk menerjemahkan kehendak artistik sutradara dan mewujudkannya di hadapan penonton. Dalam konteks ini, sutradra adalah pekarya sesungguhnya sehingga ketika pementasan usai dan berhasil sutradara boleh mengklaim pementasan tersebut sebagai karyanya. Demikianlah jiwa teater profesional dan memang demikian seharusnya. Lalu apakah harus demikian pula teater di sekolah?

Jawaban dari pertanyaan di atas untuk sementara adalah “ya”. Hal ini terjadi karena hampir semua pelatih teater di sekolah adalah praktisi teater yang biasa disebut seniman. Konsekuensi logisnya adalah sang pelatih akan menganggap siswa sebagai pemainnya dan untuk menghasilkan karya yang baik siswa harus berlatih rutin dan keras. Menjelang produksi pementasan, pelatih akan menentukan casting yang tepat berdasar nalar artistiknya. 

Sementara itu, siswa lain yang tidak mendapat jatah sebagai pemain membantu bidang lain baik itu ilustrasi musik, dekorasi, busana, cahaya, dan tata kelola pementasan. Jika masih berlebih, maka siswa tersisa ini berdiri sebagi supporter – terutama ketika produksi tersebut dipentaskan dalam festival atau lomba tertentu.

Ketika pada akhirnya pementasan berjalan sukses, maka sutradara akan dielu-elukan dan dianggap orang yang berhasil menggelar karya berkualitas. Dengan sumber daya manusia seadanya (siswa) ia mampu menghadirkan karya teater – seolah – profesional. Sutradara yang sekaligus pelatih ini mentasbihkan namanya. 

Lalu di mana nama siswa? Oh, siswa adalah para pemain potensial yang potensinya mampu dibangkitkan secara optimal oleh pelatih. Jadi, pelatihlah yang hebat karena mampu membangkitkan dan mengoptimalkan potensi siswa. 

Lalu, bagaimana ketika pentas berjalan dengan buruk? Sutradara yang pelatih ini akan berapologi bahwa tidak cukup waktu berlatih, siswa terlalu banyak disibukkan oleh mata pelajaran lain, siswa tidak boleh latihan di luar jam sekolah, siswa bukan pemain profesional, siswa baru belajar teater, nalar siswa belum mampu memahami naskah drama yang berat. Setumpuk alasan lain akan dilontarkan yang intinya adalah siswa yang kurang mampu. Betapa beratnya menjadi siswa yang belajar teater. Jika baik maka sutradara yang mendapat nama, jika jelek beban itu ada dipundaknya.

Apakah seharusnya demikian teater di sekolah? Tentu saja “tidak!”. Teater di sekolah adalah teater pendidikan. Teater di sekolah adalah media pembelajaran nilai-nilai kehidupan. Teater di sekolah tidak mengedepankan karya seni yang sok seniman tetapi karya seni yang cerdas dan edukatif. Karya seni teater di sekolah adalah karya seni yang mampu memberikan pencerahan baik bagi para pemain dan orang yang terlibat di dalamnya atau bagi penonton yang hadir menyaksikan. Lalu bagaimana caranya?

Di atas telah diurai sedikit tentang theatre games yang digunakan oleh Viola Spolin dalam mengajarkan nilai-nilai melalui teater di sekolah. Bentuk-bentuk permainan dapat dikembangkan menjadi sebuah pementasan kecil berdurasi pendek. 

Jika 1 kelas terdiri dari 40 siswa misalnya, maka 10 grup masing-masing terdiri dari 4 siswa dapat mementaskan masing-masing 1 nomor pertunjukan pendek. Jika 1 nomor berdurasi 3 menit, maka 10 nomor menjadi 30 menit. Jika masing-masing grup mementaskan 2 nomor maka durasi pertunjukan menjadi 1 jam. 

Yang diperlukan untuk mewujudkan hal ini adalah kreativitas guru atau pelatih dalam membuat nomor-nomor pertunjukan tersebut. Perlu diingat bahwa dalam theatre games bukan baik-buruknya pertunjukan yang menjadi ukuran tetapi bisa tidaknya pemain (siswa) menyerap nilai-nilai yang terdapat dalam permainan sehingga dalam hal ini siswa bukanlah objek melainkan subjek yang menentukan berhasil tidaknya permainan itu dilakukan.

Dibutuhkan kesadaran, keterbukaan pikiran, dan kemauan belajar yang tinggi bagi guru atau pelatih teater. Jika sistem pengajaran teater bersifat turun temurun, maka teater akan terjebak dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas di mana siswa menjadi objek dan bukan subjek. Banyak pelatih yang mengajarkan praktik teater hanya berdasar pengalaman waktu mudanya ketika dulu belajar teater baik waktu mahasiswa atau di sebuah sanggar. 

Pengalaman ini anehnya tidak pernah dikaji ulang dan pelatih tidak lagi mau re-learn. Untuk menggugah kesadaran para pelatih teater ini adalah visi bahwa teater di sekolah adalah teater pendidikan, lain tidak.

No comments:

Post a Comment