Teater dan Konvensi
Gaya pementasan teater secara garis besar menurut Mc Tigue (1992) digolongkan ke dalam 3 induk gaya yaitu; presentasional, representasional, dan post-realistic.
Dari ketiga gaya tersebut 2 yang pertama dapat disebut sebagai teater konvensional dan post-realistic dapat disebut non-konvensional.
Presentasional atau sering disebut teater klasik adalah teater dengan konvensi tertentu yang mengikat seperti penggunaan bahasa puitis, banyak melakukan aside dan soliloki, akting yang diperbesar dan diperindah serta dikhususkan untuk penonton.
Sedangkan representasional adalah teater realis dengan konvensi dasar: pemain bermain seolah-olah tanpa penonton (berlawanan dengan presentasional), penggunaan bahasa sehari-hari dan membatasi penggunaan aside dan soliloki.
Mengacu pada Kurikulum Mata Pelajaran Seni Budaya aspek Seni Teater yang diajarkan di sekolah, maka pokok bahasannya adalah teater konvensional utamanya presentasional. Hal ini dikarenakan semua jenis teater tradisional adalah teater bergaya presentasional.
Banyak ragam dan jenis teater tradisional namun secara mendasar konvensinya hampir sama seperti yang diuraikan oleh Mc Tigue.
Dari pokok bahasan teater presentasional ini penggunaan metode dramatik sedikit mengalami kesulitan karena hampir semua teater tradisional di Indonesia tidak menggunakan naskah drama sebagai basis ekspresinya. Ketoprak, Ludruk, Wayang Wong, Lenong untuk menyebut sebagian dari seni tradisional digelar secara improvisasi.
Jika ada naskah, maka bentuknya hanyalah penuangan sedangkan dialog dikembangkan secara mandiri oleh para pemain. Di samping itu, secara struktur dramatik cerita teater tradisional sangat berbeda dengan drama konvensional yang biasanya dipelajari.
Masing-masing babak atau bagian mengandung ceritanya sendiri dan terkadang tidak terkait dengan babak yang lain, misalnya adegan dagelan dalam ketoprak atau rerasan (soliloki) yang dilakukan oleh pembantu dalam ludruk.
Pun di dalam penokohan, ada teater tradisional yang mengikuti kaidah penokohan drama konvensional dan ada yang tidak. Misal dalam epos Ramayana, maka penokohan drama konvensional dapat diterapkan dengan menempatkan Rahwana sebagai antagonis dan Rama sebagai protagonis.
Akan tetapi sangat sulit penokohan semacam ini diterapkan dalam epos Mahabarata di mana seorang tokoh dapat menjadi antagonis dalam satu sisi tapi protagonis dalam sisi lain. Nilai-nilai dalam Mahabrata sangatlah multi tafsir berbeda dengan Ramayana yang cenderung hitam putih.
Berdasar sekilas uraian di atas, pembelajaran seni teater di sekolah perlu didekatkan pada teater sebagai pertunjukan dan bukan teater sebagai drama (konvensional). Mengurai sebuah pertunjukan tidak hanya mengurai cerita atau lakon tetapi juga tata busana, iringan musik, set dekorasi, pengadeganan, dan tata artistik yang lain. Nilai moral atau pesan lakon dapat ditemukan dalam sajian pertunjukan secara keseluruhan. Kerja analisis drama oleh karena itu bergeser menjadi analisis pertunjukan.
No comments:
Post a Comment