Saturday, April 23, 2011

ruang dan proses kreatif teater

Teater, Ruang, dan Proses Kreatif


Teater – menurut pekerja teater kebanyakan- membutuhkan ruang khusus untuk pementasannya yang disebut panggung atau auditorium. 

Bentuk panggung harus sedemikian rupa dan dilengkapi dengan peralatan tata cahaya, suara dan lain sebagainya. 

Intinya, panggung teater harus didesain khusus dengan bentuk dan ukuran yang khusus. 

Jika memang demikian, maka hampir tak satupun sekolahan di Indonesia yang bisa mewujudkannya. Lalu apakah memang harus demikian? Peter Brook (1996) menyebutkan, yang diperlukan teater hanyalah ruang kosong. 


Tunjukkan sebarang ruang kosong, lalu mintalah seseorang untuk menyeberanginya, maka itulah teater. Begitu sederhananya ungkapan Brook tetapi sangat dalam jika dikupas. Seni teater sesungguhnya adalah seni imajinasi jadi teater tidak membutuhkan apapun selain ruang kosong. 

Jika hendak mengisinya isilah dahulu imajinasimu, kemudian letakkan di dalam ruang kosong tersebut, maka proses awal teater telah dimulai. Jadi, untuk belajar teater hanya diperlukan ruang kosong.

Proses pembelajaran teater lebih banyak bersifat praktis sehingga ruang kosong akan terasa lebih efektif. Penjelasan-penjelasan teoritis dapat diberikan include dalam pelatihan. Jika merujuk Spolin maka penjelasan diberikan pada sesi evaluasi setiap akhir permainan. 

Intinya, teater dapat dilatihkan atau diajarkan di mana saja dengan media apa adanya karena pada dasarnya bahan dasar teater adalah manusia dalam hal ini guru dan siswa. Untuk memberikan gambaran nyata, Augusto Boal mengajarkan teaternya di mana saja baik itu ruang kelas, pinggir jalan, tanah lapang atau bahkan kafe. 

Berawal dari kesadaran bahwa teater adalah media pembelajaran ia mengajarkan teater untuk memancing kesadaran siapapun terhadap kondisi kekinian yang dialami. Proses pembelajaran teater yang terinspirasi oleh gagasan Paulo Freiere ini akhirnya berkembang dan bahkan melahirkan beragam bentuk teater kreatif yang memiliki pengaruh sosial kuat di Brazil.

Jika teater di sekolah adalah teater pendidikan dan nilai yang perlu disampaikan adalah nilai moral yang terkandung dalam seni teater tradisional dalam budaya tertentu, maka diperlukan satu proses kreatif untuk mewujudkannya ke dalam satu karya sederhana dan baru. 

Rahayu Supanggah (2009) menawarkan konsep revitalisasi seni tradisional yang meliputi; regenerasi (pewarisan), refungsionalisasi (pengubahan atau penambahan fungsi), reformasi (pemberian fungsi baru), reinterpretasi (penafsiran ulang), dan rekreasi (penciptaan ulang). Konsep ini bisa saja diaplikasikan dalam proses pembelajaran teater di sekolah.

Terkait Standar Kompetensi Mata Pelajaran Seni Budaya aspek Teater yang mengemukakan apresiasi dan ekspresi, memungkinkan proses reinterpretasi dan rekreasi. Proses reinterpretasi dapat dilangsungkan dalam kegiatan apresiasi dan rekreasi dilaksanakan pada proses ekspresi. 

Keunikan unsur dan nilai moral yang digali dari pertunjukan seni teater tradisional kemudian diangkat ke dalam satu bentuk pertunjukan teater baru dan sederhana based on (berdasar) unsur seni tradisional yang diamati. Unsur-unsur ini dapat dikelola dan direkreasi sedemikian rupa untuk diwujudkan dalam karya teater dengan nala pendidikan dan bukan nala kesenimanan.

Bentuk-bentuk pertunjukan yang muncul dapat saja beragam baik itu teater gerak, gerak dan lagu, teater musikal, teater boneka atau bahkan teater dramatik. Siswa boleh saja mimesis atau menirukan penggal adegan berdasar hasil pengamatannya terhadap seni pertunjukan teater tradisional atau mengubahnya dalam bentuk baru yang kreatif sesuai nala kreatif mereka sendiri. 

Yang terpenting adalah, bagaimana nilai moral yang terkandung dalam pesan teater itu tersampaikan. Dalam proses ini pun pertunjukan yang dipentaskan tidak harus berdurasi panjang tetapi berdurasi pendek namun siswa dibagi ke dalam beberapa grup sehingga semua bisa mengekspresikan hasil kreasinya.

Jika saja masing-masing grup ini menampilkan karyanya dan masing-masing berbeda baik secara adegan maupun ekspresi artistiknya maka ruang kosong yang tersedia akan berubah menjadi ruang kreatif yang penuh dengan imajinasi dan daya positif. 

Tidak terlalu sulit sebetulnya untuk mewujudkan hal ini, justru yang lebih sulit adalah membuka cakrawala pikiran dan hati untuk berani memulainya. Jika pentas harus baik maka sulit menumbuhkan keberanian apalagi untuk pentas, tetapi jika berani pentas bahkan ketika kualitasnya jelek maka langkah awal telah terayun dan pintu terbuka. 

dari Eko santosa

1 comment: