Thursday, April 21, 2011

Teater Tradisional keraton

Teater Tradisional Keraton
      Berbeda dari tradisi teater rakyat, teater tradisi keraton baru lahir setelah munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu di Nusantara. Kesenian yang muncul dari lingkungan istana kerajaan bersifat profesional. 

      Artinya, kesenian terlahir dari seniman-seniman keraton yang melulu hidup untuk mengembangkan kesenian. 

      Karya-karya yang terlahir dari seniman kalangan istana ini adalah karya-karya yang ’adi luhung’ baik dari segi nilai seninya maupun kandungan isi serta makna religiusnya.
Profesionalisme keraton ini kemudian melahirkan pembakuan-pembakuan tertentu dalam segi pementasan. Pembakuan dengan atura-aturan yang sangat ketat ini diperlukan sebagai standar kualitas seni yang dapat diakui. Pada konteks inilah kesenian tidak lagi berfungsi sebagai media ekspresi,tetapi juga telah berkembang sebagai satu cabang ilmu.

Teater tradisional keraton, atau juga disebut sebagai teater klasik, ditampilkan berupa cerita di hadapan sejumlah penonton oleh para pemainnya dengan menggunakan unsur tari, musik, dan tuturan. 

Karenanya, perkembangan teater klasik keraton tidak dapat dipisahkan dari perkembangan seni tari, khususnya dramatari, yang telah hidup berkembang lebih dulu. Bentuk-bentuk dramatari klasik ini terus berkembang sejak periode Hindu-Budha sampai dengan masa kerajaan Islam.

Beberapa contoh bentuk teater klasik yang hingga kini masih dipertahankan keberadaannya adalah wayang boneka (termasuk di dalamnya wayang golek dan wayang kulit), wayang orang, dramatari Langendriya, Langen Mandrawanara, Langen Asmarasupi, dan Langenwiraga.

No comments:

Post a Comment