Tuesday, December 27, 2011

mimetik dalam teater

Mimetik dalam teater

Dalam pandangan mimetik, seni teater merupakan cermin dari realitas. Kehidupan nyata yang dihadirkan kembali diatas panggung dengan menjadikannya lebih sederhana melalui kemampuan akting para aktor. 

Jadi, potongan realitas kehidupan yang luas dan utuh ini disajikan ke dalam dunia seni, khususnya teater dalam suara naturalisme, romantisme bahkan realisme, sebuah pilihan yang sama-sama menyajikan potongan realitas utuh.
Dengan demikian, panggung dan aktor, adalah sebuah dunia yang telah dibatasi. Padanya, kemudian lahir simbol kehidupan, dari masalah dramaturgi, aktor, pemeranan, dramatic reading, pengetahuan soal musik, lelampu hingga konsep teater.

Ketika seni teater dikatakan sebagai cermin atas kehidupan nyata, maka, cermin pun memiliki sistem realitasnya sendiri. Tulisan “ambulance” di kaca spion mobil tentu akan terbaca terbalik. Maka, dunia cermin telah melahirkan bentuk, sistem dan polanya sendiri. Hasilnya, maka di cermin, tak hanya kata “ambulance” yang terbalik, tapi juga kanan menjadi kiri dan kiri menjadi kanan. Rumah sakit di ruang kanan pun menjadi ruang kiri dan ruang kiri menjadi ruang kanan. Orang-orang di dalam dunia cermin pun bisa menerima, asalkan semua mematuhi hukum di dalam “cermin”.

Kesadaran mimetik, kesadaran pencerminan inilah yang wajib dimiliki oleh semua kerangka hasil kerja seni, termasuk di teater. Apalagi, pada karya-karya seni yang sedang berusaha mengangkat “realitas lain” di atas panggung.

Atribut dari pilihan pertunjukan yang realis adalah realitas pertunjukan kehidupan dihadirkan dalam panggung. Konsekwensi yang dipilih itu harus dipertimbangkan, karena penonton pasti akan mengejar “pintu imajiner yang kemudian berubah, nama yang salah dan tak konsisten, cermin seram yang ketika dibersihkan hanya sisi kirinya saja, ibu dan anak yang jatuh bersamaan karena sakit TBC yang bersamaan pula, kostum dan ember Indonesianis di depan pilar Yunani, dua orang buta yang berjalan lancar tanpa menabrak padahal tak pegang tongkat, kepala polisi yang kurang tegas bahkan ragu memeluk rekannya, ibu (Suti di Bunga Semerah Darah) yang setelah bersedih tak memakamkan anaknya dulu malahan ikut berjudi bersama rekan sekampung, tangisan para jamaah di Madinah yang terlalu berlebihan sehingga justru membuat dialog antar mereka menjadi lamat-lamat”.

Saya percaya, seperti juga teater-teater besar dan menguat di skala nasional., mereka lahir dari sebuah festival seperti Festival Teater Jakarta Pusat yang digelar saat ini. Seandainya saja, persoalan dramaturgi, bahkan persoalan paling elementer seperti akting, bloking, gestur, eskpresi, artikulasi, inner, pingpong atau interaksi antar pemain, kesadaran ruang semua telah tercapai dan terpenuhi. Tentu, persoalan selanjutnya adalah kekuatan khas dan unikum dari sebuah teater untuk membedakan teater yang satu dengan teater yang lainnya.

Memainkan sebuah naskah, berakting dan memanggungkannya dengan kaidah teknis seperti semua fenomena di atas tidaklah cukup.

Dengan demikian, berteater bukanlah hanya memainkan naskah karya orang lain semata, menguatkan dramaturgi, tapi juga menyesuaikannya dengan keadaan sekarang, menyesuaikannya dengan kita, bahkan “menyisipkan” konsep, kebudayaan, dan biografi kita.

No comments:

Post a Comment