Thursday, March 24, 2011

Apresiasi Kucak-kacik

Upacara Menjadi Manusia

Catatan Pertunjukan Teater Tujuan “Kucak-Kacik” Oleh Teater YAI
Oleh : Zak Sorga

Lakon kucak-kacik karya Arifin C. Noer ini mencerminkan sudut pandang pengarangnya. yaitu, pertama, hidup manusia adalah proses upacara menjadi manusia. kedua, semua kerja yang dilakukan manusia adalah ibadah. seperti di sebuah daerah di Jepang.



Dalam Naskah “Kucak Kacik” ini Arifin C. Noer telah mendudukkan tokoh utamanya, Darim, dimana-mana terus diguncang-guncang oleh pertarungan antara idealisme dan kenyataan hidup yang serba materialistis, palsu, otoriter dan tanpa pendirian. Begitu kerasnya guncangan itu sampai Darim terus terombang-ambing (kocak kacik) sepanjang waktu.
Di dalam diri sendiri, Darim merasa kehilangan idealisme hidup yang dia cita-citakan. “Darim, dimana kamu? Ayo pulanglah Darim! Pulanglah!”  teriaknya penuh kerinduan. Disisi yang lain dihadapan istrinya, Darim juga tidak berdaya. Dia merasa istrinya serba menuntut sehingga membuat dirinya tidak lagi sempat merenungkan hidup. Bagi istrinya kebahagiaan hanyalah uang dan uang. Dia menuntut Darim agar bekerja keras, menyesuaikan diri dengan keadaan, bahkan kalau perlu buang jauh-jauh itu moral dan idealisme. Jangan merasa cemburu, menjual diri pun tak apa. “Kau merasa cemburu karena kau melihat Darim, tutuplah matamu.” Teriak istrinya saat menggadaikan kesuciannya.

Darim adalah kita semua, begitu kritik Arifin C. Noer pada masyarakat ini. Kita ingin punya keluarga besar dan punya anak banyak, tapi tidak siap untuk mengasuhnya. Kita tidak siap mendengar rintihan dan tangisan dari anak-anak kita. Kita hanya ingin ketenangan dan menjadikan anak-anak kita sebagai pajangan yang enak dilihat, tanpa protes dan keinginan.

Di dunia pendidikan para guru juga tidak siap menghadapi perbedaan, semua murid diseragamkan. Penyeragaman ini begitu menyedihkan, mulai baju seragam,  tingkah laku sehari-hari, pola pikir dan jga kepribadian. Kalau ada murid yang mempunyai kepribadian yang berbeda maka akan dicap sebagai murid yang tidak punya sopan santun dan bodoh.  Sungguh aneh, kecerdasan dan kepintaran seorang murid diukur dari kepatuhannya terhadap aturan-aturan yang hanya bertujuan agar murid-murid tersebut mudah dikendalikan. Dalam hal ini kreatifitas dan kecerdasan rasa akan selalu diabaikan.

 Di dunia hukum lebih parah lagi. Darim atau kita semua betul-betul tidak berdaya. Kebenaran hanya tergantung pada rasa suka atau tidak suka sang hakim, menguntungkan atau tidak bagi sang hakim, dan semua itu hanya uang yang berbicara. Hukuman mati atau bebas bagi rakyat bisa dibeli dengan kecantikan dan uang.

Di dunia perekonomian beribu Darim tidak berdaya. Mereka semua menjadi masyarakat miskin yang selalu ditindas dan diintimidasi. Mereka semua ingin kaya, tapi tidak pernah siap untuk menjadi kaya. Sehingga berbagai cara dia tempuh, berjudi, suap-menyuap, telikung menelikung adalah hal yang lumrah. Mereka dimiskinkan oleh situasi, secara politik maupun budaya. Ini sesuai dengan zaman lahirnya naskah ini yaitu zaman Orde Baru dimana pembangunan ekonomi menjadi jargon yang gencar diteriakkan oleh pemerintah. Tapi meski demikian, naskah Kocak Kacik ini masih sangat sesuai dengan keadaan sekarang ini. Masih banyak para Darim yang belum beranjak dan menemukan dirinya.

Bagi Darim sendiri, dalam ruang ruchiah, kekayaan itu sebenarnya adalah tujuh belas rakaat shalat yang tiap hari dia lakukan. Arifin menggambarkannya sebagai tujuh belas truk cahaya yang memuat penuh tumpukan uang. Tapi bagi Eroh (istri Darim) dia ingin uang yang sesungguhnya, yang betul-betul nyata dia kuasai sehingga dia bisa membungkam mulut semua orang, termasuk mulut hukum dan keadilan.

 Ke-Indonesia-an


Proses kesenimanan Arifin C. Noer lahir di saat-saat Indonesia tengah getol-getolnya mencari wajah Indonesia. Disaat itu (tahun 1970 s/d 1990) wacana tentang modernisasi dan tradisi begitu gencar didialogkan. Hampir semua tema dan aliran kesenian mendialogkan wacana ini, termasuk juga dunia teater. Dan melihat berbagai karya teater yang telah dia lahirkan, Arifin C. Noer termasuk seniman yang paling sukses menemukan wajah Indonesia.

Karya-karya Arifin C. Noer bertutur begitu mengalir bagai dongeng dan kisah pewayangan, sekaligus juga dramatik laksana film Holywood. Dramaturgi yang diterapkan Arifin C. Noer dalam karya-karyanya adalah perpaduan dramaturgi Barat secara keilmuan tapi ruh dan wajahnya adalah dunia timur yang sangat imajinatif dan sufistis.

Persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokohnya adalah persoalan masyarakat dunia ketiga (masyarakat yang sedang berkembang). Begitu pun cara tokoh-tokoh tersebut menghadapi persoalan dan konflik yang dia alami. Mereka semua cenderung ngelangut dan mendialogkannya dengan diri sendiri, bukan dihadapi secara nyata melalui jalur hukum atau fakta-fakta. Ini semua memang monolog panjang bagi Arifin, mungkin setelah pertunjukan berlangsung dia berharap penontonlah yang harus bertindak.

Bukan sekedar bercerita


Semua naskah karya Arifin C. Noer bukanlah sekedar cerita drama, dia lahir dari sebuah pergulatan panjang tentang masyarakat ini. Oleh karenanya tokoh-tokohnya tidak pernah berwajah tunggal, dia adalah wakil kita semua, wakil orang-orang yang tertindas, orang-orang yang gelisah mencari Tuhannya, para guru dan orang tua yang gelisah akan bobroknya dunia pendidikan, para istri yang tak kuat menahan beban kebutuhan dapur yang terus melonjak, para buruh yang terus diperas dan tidak pernah berhenti untuk istirahat. Dan kesemuanya itu dihayati tokoh-tokohnya sampai lebur ketulang sum-sum.

Penghayatan maksimal inilah yang tidak dirasakan penonton dalam pentas Teater Tanya YAI di Taman Ismail Marzuki (TIM) tanggal 22 Oktober 2010 kali ini,  sehingga pertunjukan Kocak-Kacik yang disuguhkan hanya sampai pada narasi sebuah cerita. Begitu banyak konflik, suasana dan imaji-imaji yang disuguhkan dalam naskah ini tidak menemukan peristiwa dramatiknya. Pertunjukan yang berdurasi 90 menit ini nyaris hanya datar-datar saja, terasa tidak bergerak dan hanya jalan ditempat.  Karakterisasi tokoh yang begitu bervariatif latar belakang kehidupannya, dalam Pementasan Teater Tanya YAI ini tak terasa perbedaannya, baik dalam kostum, warna vocal dan tingkah lakunya di atas panggung, padahal dari sisi materi pemain nampak sekali beberapa pemain cukup menunjukkan bakatnya, misalnya pemeran Eroh (Indah Palupi) dan Ibu (Ipeh).

Pun konsep ruang dan artistik pertunjukan (termasuk lighting dan costum) yang disuguhkan oleh penata artistik (Cmuks), terasa ada yang bertabrakan dengan konsep pengadeganan yang diinginkan oleh sutradara. Konsep set dengan panggung proscenium dan peletakan property panggung yang serba simetris dan kaku ini sangat perlu untuk didialogkan ulang apakah sudah sesuai dengan konsep pengadeganan yang diinginkan naskah Kocak Kacik dalam pertunjukan kali ini, sehingga mampu fleksibel dan siap menyelusup ke semua ruang dan waktu. Dan tak kalah penting jangan melupakan wajah ke-Indonesia-an yang selalu melatar belakangi naskah-naskah Arifin C. Noer.
diambil dari http://www.dkj.or.id/articles/teater/upacara-menjadi-manusia

No comments:

Post a Comment