Ketoprak merupakan kesenian tradisional masyarakat Jawa. Bisa kita temukan diberbagai daerah di Jawa timur dan Jawa Tengah. Namun, dalam perkembangannya, secara perlahan kesenian ini mulai ditinggalkan masyarakat karena dianggap tak menarik lagi.
Sebenarnya Ketoprak menjadi icon penting seni pertunjukan karena ia menyuguhkan lakon cerita tentang kehidupan dan sejarah kemanusiaan.
Ketoprak juga menjadi media transfer filosofi dan kearifan Jawa. Ketoprak menjadi media hiburan bagi warga di tengah keringnya kehidupan manusia akibat budaya kapitalis dan materialis.
Ketoprak juga sebagai media hiburan alternatif yang tetap menguatkan nilai-nilai sejarah dalam setiap fragmen, kearifan lokal dan sindiran kebudayaan yang kental.
Selain menjadi media hiburan, pertunjukan ketoprak juga menjadi media alternatif transfer cerita sejarah kepada masyarakat. Umumnya, lakon-lakon yang dipentaskan kesenian ketoprak seputar babad, legenda maupun sejarah yang terjadi di berbagai daerah. Cerita-cerita inilah yang kemudian menjadi kokoh dalam kehidupan warga.
Cerita tentang kehidupan kerajaan Majapahit, kerajaan Airlangga, kerajaan Demak, kerajaan Ngayogjokarto, tentang kepahlawanan Gajah Mada, Adipati Unus, perjuangan Walisanga, maupun kisah unik jejak kehidupan tokoh Saridin (Syeh Jangkung) dan cerita lain yang familiar dalam kehidupan warga.
Dengan demikian, kesenian ketoprak menjadi media penting yang senantiasa menjadi sejarah manusia agar tetap abadi. Pada titik inilah, perjuangan penggiat seni ketoprak patut diapresiasi. Di tengah krisis kebudayaan bangsa ini, perjuangan penggiat kesenian lokal menjadi “ijtihad” penting, agar kesenian dan kekayaan budaya negeri ini menjadi identitas kemanusiaan bangsa.
Dalam upaya menjaga eksistensi kesenian ketoprak, beberapa seniman ketoprak membentuk komunitas Ketoprak Garapan, dengan kemasan yang berbeda dengan ketoprak yang sudah ada. Salah satunya adalah pementasan Ketoprak Ringkes yang sekarang ini sangat populer dan digemari masyarakat Yogyakarta.
Ketoprak Ringkes merupakan upaya memberi warna dalam kesenian ketoprak yang sudah ada. Lakon cerita diambil dengan mengadaptasi situasi politk sosial yang sedang menjadi perbincangan masyarakat sementara gaya pementasan dibawakan secara santai, penuh dengan improvisasi. Kemasan pementasan ini membuat kesenian ini menjadi sangat segar, lucu dan menarik.Tentu saja dengan sangat interaktif. Sedangkan celotehan penonton dianggap sebagai apresiasi yang dapat direspon pemain diatas panggung.
Antusias dan apresiasi terhadap kesenian ketoprak masih tinggi tetapi sponsor memang belum melirik kesenian tradisional ini. Karena sudah banyak tergerus oleh budaya elektronik yang serba mudah dan instan.
Di Jogjakarta, beberapa komunitas ketoprak masih dapat bertahan semata-mata karena mereka selama ini melakukan manuver dan kerja keras serta melakukan segala usaha untuk menjaga kesenian ini tetap dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. “Ketoprak ini sekarang kan sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Kita bukan pada tempatnya lagi untuk diskusi tentang bagaimana baiknya, tetapi melakukan apa yang kita bisa. Kalau kita memang cinta terhadap ketoprak, ya mari berbuat. Jangan cuma jadi tukang kritik.“ ujar Susilo, seorang aktor teater.
Senada dengan Susilo, seniman Ketoprak Nano Asmorondono juga menyatakan bahwa dilihat dari asalnya, kesenian ketoprak lahir dari masyarakat bawah. Seiring dengan perkembangan jaman, maka kesenian ini juga berubah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu, pihaknya menyatakan bahwa keberlangsungan kesenian ini tergantung bagaimana ia mampu beradaptasi dengan jamannya. “Saya pikir lahirnya banyak komunitas ketoprak dengan ciri masing-masing akan membuat kesneian ini akan semakin dinamis,“ ujar Nano.
Nano tidak setuju jika lahirnya banyak komunitas Ketoprak Garapan seperti Komunitas Tjontong dianggap melanggar pakem kesenian ketoprak. Sebab, dalam pandangannya pakem ketoprak itu terletak pada roh kesenian itu sendiri. “Pakem ketoprak itu menurut saya terletak pada roh kesenian itu. Kalau ternyata ada komunitas yang satu dengan yang lain berbeda, itu menurut saya hanya merupakan kemasan atau gaya pementasan. Yang paling penting apapun gaya yang dimainkan, kesenian ini dapat diterima dan dinikmati masyarakat. Jika itu sudah terpenuhi, saya rasa sudah cukup“ .
Akan tetapi, perjuangan pekerja seni ketoprak dalam ngugemi (menjaga) nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dan rekaman sejarah tak sebanding dengan apresiasi yang diterima. Penggiat ketoprak senantiasa asing dari gelegar penghargaan kesenian dan kebudayaan negeri ini.
Padahal, besarnya insentif (upah) penggiat ketoprak ditentukan banyaknya pagelaran yang dijalani. Tanpa adanya panggilan pertunjukan, penghasilan penggiat ketoprak akan berhenti total. Inilah tragedi kehidupan pekerja kesenian negeri, di tengah agenda nasional dalam mengapresiasi khazanah kebudayaan bangsa.
Kesenian Ketoprak tumbuh di berbagai daerah di pulau Jawa. Umumnya, grup kesenian ketoprak dapat ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Solo, Jogkakarta, Semarang , Pati, Kediri dan Tulungagung menjadi lumbung grup kesenian ketoprak.
Grup ketoprak di berbagai daerah ini selain pentas di tobong (arena pertunjukan) juga bermain menurut panggilan dari warga. Biasanya, panggilan pentas ketoprak diadadakan dalam rangka sedekah bumi, slametan (upacara rasa syukur atas berkah Tuhan), khitanan ataupun agenda haul tokoh desa (memberi penghormatan pada tokoh desa) dan momentum lain. Agenda-agenda inilah yang menjadikan grup ketoprak dapat “bernafas lega”.
No comments:
Post a Comment