Saturday, April 23, 2011

teater dan metode

      Metode penciptaan atau praktik teater secara umum yang dilaksanakan di sekolah – sebagai akibat dari cara pandang teater adalah drama – mengacu pada drama realis karena memang drama (naskah lakon) yang digunakan biasanya drama realis. 

      Sebagai sebuah gaya, realis menyajikan satu potong kehidupan nyata di atas pentas. Karena berdasar pada kehidupan nyata maka cerita yang terungkap melalui dialog para tokohnya pun berdasar pada kenyataan. 

      Atas dasar inilah drama realis dipilih untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan kepada para penonton, misal; sosiodrama. Namun terkadang, nilai itu tersampai secara verbal sehingga mengurangi estetika pertunjukan, persis seperti sebuah iklan yang disisipkan.

      Selain realis sebenarnya banyak gaya atau metode pementasan yang bisa diacu baik itu dari teater dramatik atau non dramatik. Teater dramatik adalah teater yang berbasis drama dengan struktur baku (konvensional) sedangkan teater non dramatik memiliki struktur yang lebih bebas. 

       Namun secara umum, teater dramatik mendekatkan pentas dengan kehidupan nyata. Sementara itu teater non-dramatik memandang teater dari sudut tertentu dan spesifik. 

      Bertold Brecht sebagi salah satu tokoh teater non-dramatik memandang teater sebagai media pembelajaran di mana penonton diajak mengobservasi jalannya pertunjukan dan mengkaitkannya dengan kondisi riil yang sedang terjadi. Sedangkan Samuel Beckett melihat teater dari sisi irasionalitas kehidupan manusia yang sering terjadi dan bahkan dijadikan nilai dalam kehidupan (periksa Huxley dan Witts, 1996).

       Dari keseluruhan metode penciptaan teater yang ada, metode yang dikembangkan oleh Viola Spolin sangat menarik untuk dicermati dan diaplikasikan di sekolah. Pertama kali pada tahun 1946 Spolin mendirikan dan menyutradarai kelompok teater remaja di Hollywood. 

       Model pelatihannya adalah teater improvisasi di mana pemain teater dilatih untuk melakukan potongan-potongan adegan secara improvisatoris dengan maksud dan tujuan tertentu. Model ini selajutnya disebut sebagai theatre games dan ia kembangkan tidak hanya pada aktor profesional tetapi juga pada sekolah-sekolah.

      Theatre games secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran seni teater melalui permainan. Permainan yang diciptakan dapat digunakan untuk mempelajari bidang-bidang dalam teater baik secara mandiri atau terintegrasi. 

      Dalam metode drama, teater biasanya diajarkan secara teoritis (akademis), parsial (masing-masing bidang diajarkan terpisah, misal; olah tubuh, olah suara, penghayatan peran), mimesis (murid meniru guru atau produk jadi lain), demonstrasi (murid memperagakan, guru mengkritisi), intuitif (model sanggar). 

      Sementara itu theatre games mengajarkan sesuatu secara tidak langsung melalui sebuah permainan sehingga tanpa disadari, siswa sedang atau telah mempelajari sesuatu dalam permainan tersebut. Karena sifatnya yang tidak langsung pada tujuan maka game dapat mengajarkan hal-hal lain di sebalik teater (beyond the theater), yang mendukung proses berteater.

       Dalam praktek pelaksanaan theatre games di sekolah, Viola Spolin mampu mengajarkan beragam skill seperti:
Gerak (gerak berdasar ritme dan musik, gerak enerjik, kesadaran dan kepekaan tubuh)
Persepsi dan Ekspresi (observasi, konsentrasi, memori, imitasi, refleksi, kepekaan panca indera)
Unsur Dramatik (setting, plot, karakter, dialog, kolaborasi, pemeranan)
Kreativitas (dramatisasi, pantomim, improvisasi)

       Semua kemampuan tersebut diajarkan permainan. Untuk memberikan pencerahan, Spolin menegaskan 3 hal utama yang perlu pelatih lakukan dalam melaksankan theatre games yaitu; fokus, side-coaching, dan evaluasi. Fokus adalah kemampuan dasar yang akan dilatihkan, side-coaching adalah arahan yang diberikan selama permainan berlangsung, dan evaluasi adalah penjelasan dan refleksi baik dari pelatih ataupun siswa (periksa, Spolin, 1986).

       Metode yang ditawarkan oleh Spolin bukanlah satu-satunya metode pembelajaran teater di sekolah. Namun, keberadaan theatre games mampu menyegarkan pandangan akan bentuk dan model pelatihan teater. 

      Bahkan John Caird (2010) menyarankan para sutradara untuk menggunakannya dalam sesi awal pelatihan teater profesional ketika para pemain baru pertama kali berkumpul dan butuh sosialisasi. Keluwesan model theatre games baik dari jenis permainan maupun pelaksanaannya memungkinkan untuk diaplikasikan di sekolah. Terlebih, ketika nilai-nilai pribadi, sosial, dan budaya dapat dengan mudah diimplementasikan di dalamnya.

No comments:

Post a Comment