Tuesday, November 1, 2011

Folklor

Folklor, Bahan Pembelajaran Peserta Didik

Sungguh mengagumkan sekali kekayaan khasanah cerita-cerita sejarah yang terdapat di Jawa Timur dengan keelokannya menyimpan misteri yang masih belum terungkap seluruhnya. 

Salah satunya adalah keberadaan folklor atau cerita lisan yang terdapat di daerah, yang belum sempat ditulis di lembaran kertas (pendokumentasian). Manfaat yang diperoleh selain sebagai dokumen juga dapat dijadikan bacaan pengetahuan pelajar.
Di setiap desa tentu mempunyai ciri khas cerita sejarah tersendiri, sehingga antara satu desa dengan desa lain berbeda. Hal ini yang menjadi tantangan bagi kita semua untuk dapat menulis folklor daerah masing-masing. Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam pengantarnya di buku Silang Budaya karangan Denys Lombard, bahwa setiap generasi menulis sejarahnya sendiri berdasarkan perspektif atau optiknya sendiri. Baik jiwa zaman (zeitgeist) maupun ikatan kebudayaannya (kultur gebundenbeit) menuntut agar dilakukan rekonstruksi sejarah komunitasnya yang sesuai dengan generasinya (Denys Lombard, 1996:xi).

Tentunya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan cerita rakyat (folklor) tidak gampang, dengan jumlah 73.067 desa di Indonesia (Kompas, 11 Juni 2011). Pada saat ini generasi muda ditantang oleh pergolakan zaman, sehingga masih mampukah untuk mempertahankan warisan cerita lisan tradisi nenek moyangnya?
Kalau kita memiliki tekad kuat dan bekerja keras tentunya mampu untuk mendokumentasikan warisan leluhur. Begitu juga dengan folklor, setiap daerah memiliki cerita rakyat tersendiri. Kita bisa merangkai cerita yang terdapat di desa-desa yang ada di Jawa Timur, cerita sejarahnya didokumentasikan, berapa tebal dan jilidkah kalau dicetak menjadi buku bacaan pelajar. Keberadaan folklor dijadikan bahan bacaan pelajar sebagai pemahaman akan cinta kesejarahan lokal.

Meneliti folklor sungguh indah, karena yang diteliti adalah hidup manusia yang indah pula. Lika-liku hidup penuh dengan tantangan. Pahit getir hidup itu akan terungkap lewat folklor, karena folklor adalah cerminan diri manusia. Oleh karena itu, mengungkapkan folklor sama halnya menyelami misteri indah manusia (Endraswara, 2009:11).

Kita bisa mendokumentasikan keberadaan folklor yang ada di daerah. Melalui cerita lisan dari sesepuh desa maupun orang tertua di daerah tersebut atau bahkan bukti-bukti peninggalan seperti; yoni, lingga, keris, makam kuno, candi, masjid kuno atau pohon besar yang biasa dianggap angker. Maka dari itu pelajar setidaknya mampu untuk dapat mendokumentasikan maupun menuangkan dalam wujud tulisan. Sejarah merupakan khasanah intelektual yang nantinya menjadi tolok ukur dalam menjalankan kehidupan dimasa depan, untuk mewujudkan kearifan lokal pada masa modernisasi seperti sekarang.

Pada sekitar tahun 1960, pemerintah melalui Jawatan Kebudayaan melakukan pencatatan erita rakyat yang kemudian diterbitkan berjilid-jilid oleh Balai Pustaka. Pada sekitar tahun 1980, berbagai lembaga dalam lingkungan Depdikbud mengadakan pencatatan berbagai tradisi lisan secara lebih luas, tetapi hasilnya hanya disebarkan dalam lingkungan terbatas. Dengan demikian tradisi lisan dari seluruh Kepuluan Indonesia itu tidaklah sampai dibaca oleh anak-anak Indonesia yang sebenarnya harus mengenalnya, baik dalam bahasa aslinya (bahasa daerah) maupun dalam bahasa nasionalnya (bahasa Indonesia). Entah akan diperlukan berapa tahun lagi untuk menyebarkan hasil pencatatan itu kepada anak-anak di seluruh Indonesia (Ajip Rosidi, 1995:112)
Oleh Agus Ali Imron Al Akhyar*

No comments:

Post a Comment