Sunday, January 29, 2012

teater payung hitam

Teater Payung Hitam

TEATER PAYUNG HITAM didirikan oleh Rahman Sabur pada 1982, di Bandung. Memasuki usia 28 tahun, kelompok ini telah memproduksi 80 pertunjukan. Dan, merupakan salah satu kelompok terdepan teater modern di Indonesia. Payung Hitam telah menjelajahi kota-kota di tanah air dan berpentas di berbagai festival bergengsi di luar negeri. 

Bahkan karya berjudul Katakitamati telah didokumentasikan dalam bentuk CD-Rom oleh Curriculum Corporation untuk digunakan sebagai media pendidikan seni di Sekolah Menengah Atas (SMA) South Victoria, Australia, dengan judul Asia Through Asian Eyes.

Pada awal berdirinya, Payung Hitam kerap mementaskan drama realis karya para penulis Indonesia. Kemudian mereka melakukan berbagai eksplorasi untuk mencari dan menemukan bentuk ekspresi dan gaya pementasan yang paling pas. Pencapaian terbaiknya, terjadi pada Kaspar (1994) dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam (1997), yang merupakan karya non-verbal. Hingga kemudian kelompok ini lebih identik dengan bentuk teater non-verbal.

Menurut Saini KM, teater non-verbalnya Payung Hitam tak lepas dari pengaruh Rahman Sabur sebagai penyair liris yang intens di awal karier kesenimanannya. Kecenderungan Rahman yang menghindari penghamburan kata dalam sajak-sajaknya kemudian bertransformasi dalam karya-karya teaternya yang kuat akan citra serta lambang visual, auditif dan kinetik.

Sebentuk adaptasi simbolik sekaligus perlawanan yang cerdik dan bertenaga lewat perwujudan pentas Payung Hitam yang liar, keras dan menohok.  Eksplorasi medium dan keterpesonaan terhadap logam dan batu yang mengkristal dalam Kaspar dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam menyiratkan hasrat perlawanan Payung Hitam yang berwatak masif seperti logam dan batu, penuh misteri di dalam kerumitan dan kompleksitas tubuh-tubuh teror. Tubuh adalah teks hidup yang lahir di ruang panggung yang bicara lebih banyak dari sekedar verbalitas kata-kata.

Walau identik dengan teater non-verbal, Payung Hitam selalu bergerak dan mengalir. Senantiasa membaca zaman dan bicara tentang zamannya. Dunia serta problem manusia dan masyarakat adalah medan rangsangan kreativitas. Payung Hitam ingin berdiri di garis idealisme, menyuarakan apa yang semestinya baik bagi kemajuan manusia.

Bobroknya kekuasaan Orde Baru dan wajah garang militerisme, misalnya, diparodikan dalam pentas Masbret adaptasi dari Macbeth karya Ionesco (1994) dan Tiang ½ Tiang (1999). Protes terhadap kekuasaan dan praktek politik (demokrasi) yang amburadul dalam Katakitamati (1998) dan Teater Musik Kaleng (1996). Perlawanan terhadap perilaku para elit penguasa yang bergelimang syahwat kuasa dalam Anzing (2007). Dan sejak runtuhnya rezim Orde Baru, Payung Hitam mulai fokus kepada alam serta lingkungan, terutama berkait dengan gejala kehancuran ekosistem dunia. 

Pentas-pentas Payung Hitam menyiratkan intimitas yang hangat dan unik terhadap semesta kehidupan terutama terhadap batu, tanah (lumpur), akar (pohon) dan air. Tapi, Puisi Tubuh Yang Runtuh (2009) merupakan karya yang, bisajadi, menandai suatu awal perjalanan baru kontemplasi ketubuhan Payung Hitam. Hadir lebih hening. Dan sangat berbeda dengan puncak pencapaian yang keras, meneror dan bahkan “berdarah-darah” yang mengkristal secara kuat dalam Kaspar. Pentasnya tidak menggedor dengan gelegak. Tidak menghablur keluar, menyasar pelbagai isu sosial, politik ataupun lingkungan. Dan bukan karya yang berisi protes sosial melainkan semacam ziarah ke dalam. Karya yang terlihat lebih personal sifatnya.

Pentas itu, mungkin, lahir dari refleksi dan pergulatan Rahman Sabur saat mengalami stroke. Sakit dan realitas keruntuhan tubuh fisik mencuatkan kontemplasi akan ketidakkekalan tubuh. Tubuh wadah runtuh, namun keruntuhannya menorehkan suatu pemahaman dan kesadaran tertentu terhadap hidup dengan tubuh sebagai kendaraannya.
 
Silvester Petara Hurit - Penulis
Nano Riantiarno - Editor

No comments:

Post a Comment