Teater berarti memproduksi peristiwa-peristiwa antara manusia, baik yang pernah terjadi maupun yang direka, dan penyajiannya itu dimaksudkan untuk menghibur. Setidaknya inilah yang dimaksudkan, jika kita selanjutnya bicara tentang teater, apakah yang lama atau yang baru.
Untuk lebih memperkaya, dapat kita tambahkan peristiwa-peristiwa antar manusia dan dewa-dewa. sekalipun demikian, karena kita hanya akan memastikan yang terkecil saja, maka peristiwa-peristiwa tersebut dapat kita tinggalkan. seandainya akan kita bicarakan maka penggambaran pelaksanaannya teater sebagai hiburan tetap harus dipertahankan.
Sejak dahulu telah jadi tujuan teater dan tiap bentuk kesenian lainnya untuk menghibur manusia. Tujuan itu telah memberikan kepada teater wibawanya yang khas, teater tak perlu memberikan kartu nama lain kecuali kesenangan, yang merupakan syarat mutlak.
Orang takkan mungkin mengangkatnya ke taraf yang lebih tinggi lagi , misalnya sebagai pasar moral. Jika hal itu terjadi, kewaspadaan harus ditingkatkan jangan sampai ia dihinakan, wibawa teater akan langsung terinjak jika hal-hal yang berurusan dengan moral tidak ia jadikan sesuatu yang menyenangkan, yaitu dengan menjadikannya jasmaniah belaka, yaitu tentunya justru menguntungkan prinsip moral.
Teater jangan sekali-kali digunakan untuk mengajar. Setidaknya janganlah untuk mengajarkan hal-hal yang dianggap lebih bermanfaat, selain mengajarkan bagaimana seseorang bergerak secara nikmat, baik dalam arti jasmaniah, maupun rohaniah. Sebenarnya teater harus diperbolehkan untuk tetap merupakan sesuatu yang tidak pokok benar, itu dengan sendirinya berarti.
Begitulah orang-orang dahulu kala membiarkan tragedi sesuai dalil Aristoteles, tidak boleh dianggap lebih tinggi atau lebih rendah daripada menghibur manusia. Jika dikatakan teater lahir dari pemujaan dewa-dewa, maka yang dimaksud adalah teater lahir hanya karena orang memisahkannya dari aspek keagamaan upacara itu. Jelas, teater tidak membawa amanat keagamaan tersebut.
Katarsis Aristoteles, yaitu pembersihan oleh rasa takut dan rasa kasihan, atau dari rasa takut dan rasa kasihan, adalah penyucian yang tidak hanya disajikan secara menyenangkan, melainkan dijadikan tujuan menikmati. Mengharapkan lebih banyak dari teater atau memperbolehkan teater melakukan lebih dari itu berarti merendahkan tujuannya sendiri.
Bahkan jika orang berbicara tentang seni hiburan yang tinggi atau pun yang rendah, maka yang terpandang adalah seni yang bermuka baja. Seni menginginkan agar ia dibiarkan leluasa bergerak tinggi dan rendah serta jangan diusik-usik, jika dengan cara demikian ia dapat menyenangkan manusia.
Tentu saja hiburan-hiburan dalam satu zaman berbeda dengan hiburan di zaman lainnya, karena itu tergantung pada bagaimana cara hidup bersama manusia-manusia dalam zaman tersebut. Rakyat penonton sirkus Yunani yang dikuasai tirani harus dihibur dengan cara yang berbeda dengan rakyat penonton pada zaman Romawi dan Prancis. Teater harus memberikan gambaran lain dari kehidupan bersama manusia, bukan saja gambaran kehidupan bersama yang lain, tetapi gambaran yang jenisnya lain.
Tergantung pada jenis hiburan yang dimungkinkan dan dibutuhkan oleh masing-masing corak kehidupan bersama manusia, maka tokoh harus ditampilkan secara lain dan situasi yang dibangun dalam perspektif yang lain pula. Cerita harus disajikan secara lain sama sekali. Agar orang Yunani dapat menghibur diri dengan hukum dewa-dewa yang membelenggu walau tidak mengenalnya, mereka tidaklah dapat menghindarkan diri dari kutukannya. Agar orang Prancis yang berkebanggaan diri anggun, yang menjunjung tinggi hukum-hukum mulia berkenaan dengan kewajiban diatas kemuliaan-kemuliaan duniawi lainnya, dapat dihibur.
Maka sebenarnya teater adalah upaya manusia untuk lepas dan sedikit melupakan kenyataan-kenyataan yang dialami. Teater juga dijadikan tempat kontemplasi agar bisa lebih baik menghadapi kenyataan sosial.
No comments:
Post a Comment