Friday, April 22, 2011

Perkembangan dan mutu kesenian di sekolah

Perkembangan dan Mutu Kesenian Di Sekolah
Suko Widodo, Universitas Airlangga

Di berbagai sekolah umum (SD, SMP dan SMA), kesenian termasuk salah satu pelajaran wajib dalam kurikulum formal. Sayang, pendidikan kesenian ini seolah kehilangan dukungan, arah dan orientasi utamanya.

Orientasi utama pendidikan seni di sekolah-sekolah antara lain untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat mendukung kelestarian suatu tradisi. Nilai-nilai ini bisa meliputi sejarah, adat-istiadat, tata susila, dan spirit dalam suatu karya seni.

Terdapat perbedaan mendasar antara pendidikan seni di sekolah formal dengan pendidikan seni di sekolah khusus seni ataupun dengan sanggar kesenian. Di sekolah khusus kesneian atau sanggar lebih ditekankan penguasaan ketrampilan yang mengarah pada keahlian dan profesionalisme.
Sedangkan di sekolah umum, pendidikan kesenian bertujuan menumbuhkan kepekaan rasa estetis dan budaya serta pengalaman kreatif yang berfungsi membantu perkembangan siswa dari segi intelektual, emosional, dan spiritualnya.

Oleh karena itu, kita tidak bisa berharap besar pada sekolah umum untuk melahirkan sebuah kesenian yang bermutu, Sekalipun demikian, bukan tidak mungkin, sekolah umum mampu menghasilkan karya seni yang berkualitas. Dalam banyak pengalaman, terdapat banyak karya yang dilahirkan dari sekolah umum.

Lalu, bagaimana membuat kesenian bermutu di sekolah? Menurut saya, ada dua kategori mutu. Pertama, bermutu untuk kalangan internal, dan kedua mutu untuk kalangan lingkungan luar sekolah/ eksternal.

Ukuran mutu internal yang bisa jadi indikator adalah seberapa antusiasme audience dapat menikmati tampilan atau karya seni siswa. Sedangkan mutu eksternal, bisa dengan indikator seberapa sering siswa berkesempatan tampil di luar lingkungan sekolah.

Seni Yang Komunikatif
Dalam perspektif komunikasi, seni adalah sebuah produk pesan yang ditujukan bagi sejumlah orang banyak (audience). Bentuknya seninya bisa beragam. Bisa musik, tarian, lukisan dan sebagainya. Seberapa kuat audience bisa menikmati produk seni (sebagai pesan), sangat tergantung dari mutu atau kualitas produk seni tersebut, cara menyajikan produk seninya dan media komunikasi yang tersedia.

Puncak keberhasilan seni adalah tatkala audience merasa tertarik dan bisa terlibat (partisipatif) atas seni yang digelar. Seni yang menarik, dapat menggerakkan emosi audience; misalnya dengan tepukan yang tulus, dan keinginan untuk menikmati gelar seni itu kembali di masa selanjutnya.

Oleh karena itu, pelaku seni harus pula berperan sebagai komunikator yang ekspresif. Seorang penari yang baik, bukan hanya sekedar menggerakkan tangannya sesuai gerakan pakem tari. Jauh dari itu, seluruh dirinya dan atributnya (pakaian dan yang menempel dalam tubuhnya) harus memberi makna.

Seni yang komunikatif, mampu “menginteraksikan” pikiran dan perasaan audience dalam imajinasi tertentu. Maka itulah, pendidikan seni di sekolah juga harus dapat melahirkan partisipasi warga sekolah. Seni bukan diperuntukkan bagi pelaku seni atau gurunya, tetapi justru yang lebih penting bisa “menghipnotis” warga sekolah tersebut sebagai audience.

Mengelola Pendidikan Kesenian di Sekolah
Melahirkan model pendidikan kesenian di sekolah memerlukan perencanaan dan pengkoordinasian dengan berbagai pihak. Beberapa usulan yang sekiranya dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan pendidikan seni di sekolah yang saya usulkan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Memulai dengan: Menakar Kebutuhan Seni di Sekolah
Guru Kesenian, di awal semester dapat membuat sebuah kuesioner kepada para siswa. Pertanyaan yang diajukan seputar pandangan mereka tentang kesenian, harapan tentang kehidupan seni di sekolah dan keinginan siswa, serta kesediaannya terlibat. Mereka juga dimintai saran-saran untuk pengembangan kesenian di sekolah. Tidak ada salahnya juga meminta pendapat dari guru, staff TU dan orang tua siswa.
Hasil kuesioner kemudian ditabulasikan, dan dibuat untuk menyusun perencanaan kebijakan pendidikan kesenian di sekolah tersebut.
2. Membuat Keputusan Bersama
Perencanaan yang dibuat, selanjutnya dirumuskan dan kemudian mengajak diskusi dengan para siswa. Tentu tidak mudah mengajak siswa berdiskusi; tetapi apa salahnya dicoba. Tentu saja cara diskusi harus dikelola dengan cara yang santai, demokratis dan penuh kesabaran. Dari sanalah kemudian ditetapkan alternative keputusan untuk membuat pendidikan kesenian.
Misalnya menetapkan jenis seni yang dikembangkan, penetapan alokasi waktu, dan sebagainya. Membuat keputusan yang sepenuhnya bisa mengakomodasi siswa tidaklah mudah; tetapi paling tidak proses membuat keputusan bersama akan menghasilkan ketutusan dari mereka yang terlibat dalam pengembangan seni di sekolah tersebut

Dalam tataran tertentu, perlu juga guru seni meminta bantuan guru yang lain untuk turut menganalisis keinginan siswa. Dalam konteks ini, perlu didiskusikan sumber dana dan kebutuhan fasilitas sekolah yang dapat mendukung pengembangan seni di sekolah.
3. Membangun Panggung Bersama
Panggung seni adalah bagian dari puncak awal dari hasil pendidikan seni. Sekolah perlu untuk memberi ruang berkesenian bagi para siswa. Disinilah perlu keputusan besar dari para pengambil kebijakan sekolah (Kepala Sekolah dan Wakilnya, serta Komite). Selama ini, seni di sekolah hanya terbatas dipanggungkan pada saat perpisahan siswa; atau paling banter di hari besar tertentu.

Tidakkah sesekali, pada suatu jam istirahat; jika ada siswa yang bisa berpuisi atau menyanyi dan main musik diminta untuk unjuk gigi pada saat ia istirahat? Atau ketika bel sekolah berbunyi tanda pulang, selama setengah jam ditampilkan karya siswa (tanpa harus mengurangi jam pelajaran); dan memberi kesempatan siswa lainnya sebagai audience.
Kesempatan berkesenian harus dibuka lebar, dengan memanfaatkan waktu yang ada. Didukung dengan promosi (pengumuman) oleh pimpinan sekolah, agar siswa menyaksikan; maka kehidupan kesenian di sekolah akan berkembang.

Sekali lagi tidak cukup mudah memang mengembangkan pendidikan kesenian di sekolah. Apalagi selama ini sekolah masih terjebak dalam orientasi nilai akademis belaka. Padahal jika merujuk pada tujuan pendidikan, sejatinya pendidikan ditujukan untuk menanamkan nilai budi luhur. Semoga di masa depan ada pergeseran orientasi dalam pendidikan di Indonesia, sehingga pendidikan seni tidak dianggap sebelah mata.

No comments:

Post a Comment